
Hening.
Hening.
Tak bergerak.
Lalu tiba-tiba layar handphoneku menyala. Pesan darinya. Tidak ingin membiarkannya berlama-lama. Aku segera membaca pesannya dengan senyum yang tak aku sadari mulai menyungging ke atas. "Sebentar lagi aku sampai. Tunggu ya." katanya di pesan itu. Aku menjadi berdebar.
Aku menunggunya seperti biasa di latar depan kampus yang menjadi tempatku nongkrong bersama teman-teman. Di situ pula tempat yang mengingatkanku tentang bagaimana posisi hebatmu di dalam kampus tidak menjadikanmu selamanya dikelilingi teman. Tempat yang juga menjadi kenyamananku dalam kesendirian.
Tidak lama, dia muncul dan berhenti di depan pagar mengendarai motornya seperti biasa. "Lagi-lagi kaos hitam berkerah itu!" batinku dalam hati sambil buru-buru menyusulnya karena sudah tidak sabar menunggu lebih lama lagi.
Sebenarnya kami tidak banyak berbicara di motor. Aku tidak pendiam, dia juga tidak. Entah mengapa kami hanya memutuskan untuk diam merasakan terpaan angin yang memeluk tubuh kami saat motor ini melaju kencang. Bukan pengendara motor yang handal tetapi senyaman itu aku duduk di belakangnya. Bukan tidak ada hasrat juga untuk memeluknya, aku hanya tidak ingin dia menjadi tidak nyaman dengan kebodohan kecil yang akan aku lakukan. Aku memilih untuk menekan keinginan itu.
Seperti biasa, perjalanan kali ini adalah tentang perkaranya. Seperti biasa juga, aku yang sering dimintanya untuk menemani perkaranya. Tidak tahu apa alasannya, yang jelas aku suka. Aku sangat menghargai hubungan ini, hubungan yang aku jaga baik dan aku tahu suatu saat belum tentu aku dapatkan lagi hubungan yang seperti ini. Oleh karenanya, sekali pun dia sering memintaku menemaninya, aku tidak pernah memintanya menemaniku juga. Sekali lagi aku takut dia tidak nyaman.
Kami sampai di suatu department store. Sejujurnya, aku bukan ahlinya memilih sesuatu. Seleraku cenderung payah. Tetapi aku iyakan lantaran keinginanku untuk bisa selalu ada untuknya. Tak rela juga dia memilih orang lain yang dia percayakan. Secemburu itu karena dia belum aku miliki.
Jadi begini, kami kenal belum lama ini. Pertemuan kami tidak baik dan sejujurnya, dia tipe pria yang aku benci. Tetapi kami terpaksa beradu dalam suatu lingkup yang sama. Terlalu benci untuk membiarkan segala kesalahpahaman, maka aku mencoba untuk membuka diri kepadanya dan menjelaskan segalanya dalam sudut pandangku. Tidak dinyana bahwa dia pun memilih membuka dirinya. Kira-kira itulah awal yang membuatku mulai menjatuhkan hati padanya.
Sampai dengan detik ini, dia sangatlah baik dan perhatian. Melibatkanku dalam segala halnya membuatku semakin jatuh lagi dalam segala dunianya. Hampir tiada hari tanpa pesannya membuatku semakin menuntut keadaan yang dia tidak pernah tahu betapa setengah mati aku menahannya habis-habisan. Lama-lama aku mulai menyalahkannya dalam hati lantaran aku merasa seolah-olah hanya aku yang dibuatnya gila dan dia biasa saja.
Kami selesai memilih barang, perkaranya sudah beres. Berkat aku, katanya. Aku hanya bisa tersenyum lega masih bisa membantunya walau hanya itu. Seperti biasa pula dia tidak langsung mengajak pulang. "Apakah dia masih ingin berlama-lama denganku?" tanyaku dalam hati. Aku mulai membuat asumsi yang lain. Benci juga menjadi wanita yang seolah-oleh begitu gede rasa lantaran tidak pernah tahu kejelasan darinya.
Dia selalu yang menentukan tempat selanjutnya karena dengannya aku selalu memilih untuk menjawab terserah. Percakapan kami saat makan pun seringkali tentangnya walau terkadang aku imbuhkan tentangku. Tetapi sejujurnya, tidak sepenuhnya tentangku karena tentangku yang aku ceritakan tidak benar-benar tentangku. Aku menciptakan tentangku yang baru agar dapat menyeimbangkannya.
Seumur hidupku, pria ini membawaku ke dunia yang sangat berbeda. Dunia yang tampak begitu mengerikan tetapi juga menenangkan segera setelah kata-kata penyemangatnya terucapkan. Aku akui, aku mencoba menjadi pribadi yang berbeda. Aku tidak masalah, bukankah berbeda dalam hal baik adalah wajar?
Masih tentangnya dan dunianya, kami selesai makan dan dia berdiri untuk membayar semua makanan kami. Aku tidak memaksa untuk ikutan membayar, aku tahu dia tidak akan menerima dan aku benci melakukan basa-basi yang sudah jelas akhirnya. Sudah aku rancang untuk membalasnya dalam wujud yang lain entah dengan membawa makanan di pertemuan selanjutnya atau hal lain yang dia tidak tahu bahwa aku berniat membalas budinya.
Kejadian seperti ini tidak hanya sekali dua kali. Berkali-kali dia memilihku untuk menemani hari-harinya. Dia pula yang selalu menjadi kawan bertukar cerita, resah dan bahagia. Bahkan pernah sekali dia merengkuh raga ini yang katanya menjadi angannya karena selama ini aku yang jadi geloranya berkarya. Melelehlah hati ini dalam rengkuhnya. Aku paham benar ini seharusnya adalah hal yang biasa. Kesalahanku adalah aku sudah jatuh terlalu dalam dan aku menuntut balasan mesra darinya yang tidak seharusnya aku harapkan. Dia biasa saja. Itu yang selalu berdengung.
Semakin lama, kawanannya pun merasa. Begitu pun kawananku tak jarang bertanya. Sebagaimana aku mencoba diam, mereka pun juga geram. Seolah-olah menuntut kenyataan, mereka mulai mempertanyakan kejelasan. "Tidak ada apa-apa." Berkali-kali kami menjelaskan, tidak cukup pula bagi mereka untuk percaya.
Hari ke hari, kami semakin dekat pun semakin jauh. Aku mencoba menjauh, dia masih mendekat. Terjebak dalam perasaan tak berbalas membuatku sungguh gila. Akhirnya aku tumpahkan perasaan yang aku pendam terhadap mereka yang aku sayang. Mereka sudah menduga, pun tak bisa apa-apa. Ada yang membatasi saat aku menginginkan kejelasan. Jawaban atau kesudahan. Aku takut pada kesudahan ini. Hubungan ini begitu terasa sempurna, tidak sanggup rasanya memohon jawaban lalu kemudian tidak lagi kami saling bertegur sapa. Aku terlalu mencintai hubungan ini.
Sampai suatu saat, dia mulai bercerita tentang asmaranya sekilas. Jatuhlah tangisan dalam hati. Masih dengan wajah penuh perhatian, aku dengarkan kisahnya yang membuatnya tersipu. Siapa pula yang mampu menandingi seleranya? batinku. Semakin dalam dia bercerita, semakin jatuh asaku untuk berharap bersamanya. Dia sudah milik orang lain.
Dunia terasa begitu gelap, dingin dan kejam. Hatiku yang remuk masih dituntut untuk memanggul tanggung jawab. Aku masih harus menahan rasa sakit saat aku mencoba mengobati rasa sakit pada hati orang lain yang tidak seberapa sakit dengan hatiku. Masih pula menjadi penopang saat tubuh ini sudah tidak kuat rasanya untuk berdiri. Ah, lagi-lagi aku mengemis belas kasih. Akibat dari perasaan bodoh yang aku ciptakan sendiri.
Mengukir lembar baru selalu sulit, namun kesulitan itu membuatku lupa bahwa aku pernah menaruh rasa. Sampai kemudian, rasa cintaku mulai berbeda. Aku mulai melupakannya. Rasa sakit itu pelan-pelan tergantikan. Seperti retak pada tembok kuno, justru retakan itu menambah cita dari estetikanya. Sakit yang tetap ada, namun tidak menjadikan aku terpuruk lagi. Aku belajar menerima bahwa rasa cinta yang pernah ada, belum tentu ditakdirkan untuk kita perjuangkan. Akan ada manusia yang hadir, tetapi kemudian pergi untuk kita belajar mengikhlaskan. Ada pula yang sengaja memberi luka, agar kita tahu makna untuk tidak melukai. Ada pula yang sengaja hadir, menjadikan kita seolah menjadi bodoh sendirian agar kita paham betapa bodohnya diri kita.
Sebodoh itu aku pernah menghabiskan waktu dalam hening dan diam, menyadari semuanya adalah lampau. Makna dari sebagian lampau yang berkesan.
Minggu, 8 Agustus 2018
Hening.
Hening.
Tak bergerak.
Lalu tiba-tiba layar handphoneku menyala. Pesan dari grup obrolan. Ah, bukan ini yang aku tunggu. Aku tersenyum mengingat beberapa waktu yang lalu aku begitu menantikan pesan dari orang yang aku kira akan menjadi senjaku. Tidak sempat pula perasaan itu aku sampaikan padanya. Maaf, aku memang tidak ingin menyampaikannya. Biarlah menjadi kisahku sendiri yang begitu manis. Kami tetap berhubungan baik walau tidak terjalin dalam satu cinta.
Tidak lama kemudian, seorang pemuda berpenampilan biasa yang bahkan cenderung tidak terlalu menarik menghampiri mejaku. Kami memang sepakat menghabiskan malam kami di sini. Pemuda biasa yang membuatku penasaran walau tidak bertingkah macam-macam. Dia baru saja selesai bekerja, pula diriku. Tidak lama kami mulai bertukar suara saling beradu seru dengan hari-hari yang sudah terlalui. Lalu handphoneku berdering. Dari dia yang dahulu aku kira akan jadi senja.
"Hai, apa kabar?"
Aku tersenyum dengan perasaan rindu. Aku pandang pemuda di depanku yang masih serius bercerita. Aku sudah tidak membutuhkan dia sekarang. Biarkan sekarang aku menapak ke sebuah album yang baru. Aku tersenyum lebih lebar sambil mematikan handphone.
Album baru kali ini aku beri judul "Yang Kelak akan Membalas Rasa".
Short Story by Sophisticated Beast
