Saturday, October 5, 2019

Kebaya Merah Muda dan Wedang Jahe



Langit mulai menjadi jingga. Sama seperti pantulan air yang masih memantulkan lagi warnanya ke bola mataku. Ya, mataku yang masih nanar atas segala rasa penyesalan yang menyeruak di dada. Di meja, masih ada secangkir wedang jahe yang belum aku sentuh sedari pagi. Wedang jahe itu seharusnya menjadi salah satu minuman kesukaanku. Sayangnya, kali ini wedang jahenya terasa begitu hambar. Bukan tentang komposisi yang kurang pas, akan tetapi tentang hilangnya “sesuatu” yang menjadikannya khas. 
Aku memang keliwat menyesal mengingat beberapa minggu yang lalu tetap kekeuh untuk tidak mengenakan kebaya kutubaru buatan nenek. Kebaya yang modelnya biasa saja dan tidak ada payet yang menjadikannya lebih elegan. Hanya kebaya sederhana yang nyaman dipakai dan tidak mencuri perhatian siapa pun yang melihatnya. Tetapi setidaknya kebaya itu dijahit dengan ketulusan dan pengharapan yang besar akan kesuksesan yang nantinya akan aku rengkuh di kemudian hari. 
Tidak dapat berhenti air mataku turun sejak pagi, membasahi kebaya yang sudah susah payah dijahit nenek. Bahkan aku tidak rela membawa kebaya itu pulang agar bau kapur barus yang begitu meresap dalam kain batiknya tetap terjaga kerap kali aku merindukan nenek. Nenek telah berpulang setelah lama menungguku yang sengaja mengundurkan kepulanganku ke Jogja karena aku tidak ingin kelewatan acara perpisahan bersama teman-teman kantorku. Seharusnya aku sadar bahwa saat itu justru aku yang kelewatan acara perpisahan dengan nenek.
Bulan depan aku akan menikah. Aku tidak pernah menyangka di hari pernikahanku justru nenek yang tidak bisa hadir. Aku terlalu angkuh sampai tidak menyadari bahwa nenek bisa meninggalkanku sewaktu-waktu. Aku terlalu angkuh sampai tidak pernah menyadari betapa selera nenek yang kataku ndeso itu, bisa membuatku rindu yang teramat dalam. Lagi-lagi air mataku terlalu penuh membasahi pelupuk dan kembali terjatuh, melembabkan kebaya kutubaru berwarna merah muda. Aku teringat kata-kata nenek, “Mung wong ayu sing apik nganggo kebaya jambon.” (Hanya orang cantik yang bagus pakai kebaya merah muda)
Calon suamiku menepuk bahuku, membuyarkan segala kenangan sedih yang masih saja berkutat di otakku. Tangannya mengambil cangkir wedang jahe yang sudah dingin, menggantinya dengan teh manis hangat. Dia tidak berkata apa-apa, hanya menggoyangkan sedikit dagunya maju, gestur yang memerintahku meneguk teh itu. Aku mengabaikannya. “Harusnya waktu itu aku pakai kebayanya nenek dan engga perlu ikut acara penutupan perpisahan di kantor. Aku nyesel, mas.”
Mas Angga, calon suamiku, lagi-lagi belum bersuara. Ia hanya menghela nafas yang berat. Cukup lama memberiku jeda waktu untukku tersengguk dalam tangisan lalu ia meraih kebaya yang aku pangku. “Bagus yah kebayanya, sederhana.” Kata Mas Angga singkat. Kata-kata itu justru membuatku semakin menangis dalam sesal. Mas Angga menepuk sambil membelai pundakku lembut. “Masih bisa diperbaiki, dek. Kebaya pengantinmu itu, kita simpan saja. Kita masih bisa pakai di pesta-pesta besar lainnya. Mas engga keberatan kamu pakai kebaya ini saat resepsi nanti. Pernikahan kita ‘kan momen seumur hidup, kita abadikan jerih payah nenek dengan kamu pakai kebaya ini.”
Aku kembali menangis sejadi-jadinya, bukan karena rasa sesal lagi tetapi kelegaan atas pengharapanku yang masih bisa memuaskan keinginan nenek yang telah di surga. Aku memeluk Mas Angga, bersyukur sekalian minuman nanti saat resepsi, kita minta keluarga besar buatkan wedang mendapatkannya sebagai calon suami yang penyabar dan dewasa. “Nganu, mas.. hati aku menghaturkan maaf yang tertulus atas sikapku selama beliau masih ada. jahe saja ya, mas?” Mas Angga mengusap kepalaku lembut lalu mengangguk. Dalam terus membanggakan nenek. Akhirnya, aku seruput teh manis yang tadi dibawakan. Di lain sisi, hadirnya Mas Angga membuatku berani membangun pengharapan untuk Mas Angga untukku. Aku tersenyum, rasa teh ini pun seperti buatan nenek, seolah-olah nenek memaafkanku di tempat sana.

Short Story by Sophisticated Beast


credit by Instagram/zwitasari

No comments:

Post a Comment