Friday, December 1, 2017

Tentang Penjarah



Sembari mendengar walau sekilas, semuanya mengangguk iya tentang hal yang buruk terkait padanya. Tidak terkecuali aku.
Bahkan sekedar melamun saja, tidak dibenarkan bila itu adalah kebenaran. 
Hal baik selalu tentang memberi.

Entah, sifat dasar manusia itu, bagaimana kita merakit strateginya, tidak kau temukan cara memusnahkannya. Kau ini siapa? Bukan empu apa-apa.
Kendati barangkali aku mengharapkan sedikit saja pemahamanmu. Kata senjaku, dia pintar. Kataku, engkau pun turut. Apakah pergolakan emosi yang harus jadi komandannya? Sampai kamu menunduk dan bersujud di hadapannya layaknya serdadu tak punya harga diri?

Kalau-kalau kamu melihat ini, ijinkan aku melayangkan suatu pertanyaan? Apakah kamu manusia yang punya empati? Aku tidak mengemis tentang bagaimana caramu berempati. Secuil saja katamu kau punya, seharusnya kau paham. 

Juga untuk ke semuanya yang melihatku atau orang-orang yang pernah berdiri di tempat berpijak yang sama denganku.
Kami hanya tidak tahu. Aku pun turut. Aku tidak tahu. 
Bagaimana orang melihatku, aku tidak bisa mengambil kemudi untuk berkelana pada petualangan yang aku pilih. 

Permasalahanya, aku mengiyakan hal yang dapat kubantu. Barangkali aku juga mendapat balasan bila kelak terkurung dalam kesukaran. Hal ini menjadi suatu kebiasaan yang kuanggap budaya kebajikan. Siapa sangka orang melihat itu adalah kedengkian bahkan membuat mereka melakukan penuduhan. Yang dikasihi dianggap terjarah. Dan akulah pelakunya.

Sekarang semua sudah terjadi dan tetap ini realita yang diketahui orang. Barangkali benar suatu perumpamaan bahwa kebenaran adalah seperti kotoran dalam tanah. Tidak akan pernah ada yang tahu apabila tidak ada yang mencarinya. Tidak, untuk apa pula dicarinya? Mereka tidak ingin mendengarnya. Kebenaranku, adalah sia-sia. Mereka tidak mau tahu.

Yang dijarah meluapkan segalanya pada yang mereka kasihi dan seluruh dunia membuka telinga terhadap kisahnya. Lalu penjarah ini, terkurung dalam penjara. Kami juga punya cerita, tetapi untuk apa orang-orang mendengarnya? Manusia tidak mau mendengar yang jahat.

Kendati begitu, aku masih bisa tertawa di dalam penjara. Bukan, bukannya tidak merasa bersalah. Setidaknya kesalahanku tidak lebih besar dari yang menulikan telinga terhadap kebenaran. Setidaknya aku menghadapi kesalahanku dengan yang setimpal, bukan menguburnya dengan penuduhan yang lain yang ditumpahkan padaku.

Adalah kisahku bahwa seorang tua meminta bantuanku. Aku rasa dahagaku tidak terasa sehingga boleh saja mengeluarkan peluh untuk berbuat bajik. Seorang tua ini biasa saja dan tidak menuntut apa-apa padaku sehingga kurasa tidak ada yang perlu dicela. Semua orang dikenalkan padaku. Baik teman si tua, kerabat dan siapapun yang mengenal si tua. Bahkan petuah bajik sampai riwayat dirinya disampaikan padaku begitu menggebu. Aku menikmatinya. Kesalahanku adalah aku yang menaruh lebih suatu harapan tetapi aku bersumpah untuk tidak menyakitinya. Sampai suatu ketika seseorang menandaiku penculik. Seorang tua itu hilang dan aku yang dicela. 

Adalah kisahku bahwa seorang gadis kecil yang kelaparan. Menurut kisahnya, ia hidup bahagia. Aku meragu karena ada luka di sana sini tetapi wajahnya penuh ketulusan. Yakinlah aku bahwa lepaslah ia dari dusta. Aku menyambutnya, sama seperti aku menyambut bocah-bocah lainnya. Aku hanya melihat dia sedikit berbeda, tentang bagaimana ia meyakinkan ku bahwa ia akan menjadi lebih baik. Aku tidak melakukan apapun yang melebihi bocah-bocah lainnya. Aku hanya memberikan hal yang setimpal padanya lebih karena memang dia berlaku lebih daripada bocah lainnya. Seadil itu.
Lantas seorang mengatakan bahwa aku menjarahnya. Dia berpunya dan aku berlaku semena-mena. Dia tidak menoleh pada kisahku pun tak percaya pada kata-kata bocah itu. Kembali aku tertangkap.

Sedikit pun aku tidak merasa mengenakan harga diri. Eksistensiku terinjak. 
Apa boleh buat? Beginilah hidup seorang penjarah. Penjarah yang tidak menjarah.
Apa boleh berkata? Beginilah fakta seorang penjarah. Penjarah tanpa sejarah.

Barangkali kamu menolehkan kepalamu untuk menelan aksara-aksara di atas, ijinkan aku mengemis kasihmu untuk memahami kisah penjarah lainnya.
Aku terlanjur terpenjara dalam tuduhan-tuduhanmu. Biarlah aku berkenan karena rupa-rupa masa lalu barangkali pernah menorehkan hal yang sama atas perbuatan tanganku. Aku enggan berlaku munafik untuk menyatakan bahwa aku mengikhlaskan segala yang telah kau torehkan hingga berdarah bagaimana kisah awal mula akan terlewati. Aku masih berangkara walau mimpiku terus menunjukkan itikad yang bertolak belakang. Bukan tidak mungkin akal budiku masih bengis kendati hati nuraniku ikhlas. Setidaknya aku tidak berlaku kebalikan dengan perucapanmu yang tidak selaras dengan perbuatanmu.

Teruntuk kalian para pemijak bumi, kuharap kau menjadi pemijak yang paling bijak.
Dunia ini tidak pernah mudah pun sederhana. Saat kau lihat ada dua pilihan, kau tahu pilihan lain bersembunyi. Bukan permasalahan pilihan mana yang benar, tetapi bagaimana kamu menerima konsekuensinya. 

Kau tahu apa yang menarik dari kisah tentang penjarah?
Korbannya adalah penjarah yang sejati.


credit by Google Image

No comments:

Post a Comment