Aku tidak pernah sejatuh cinta ini sebelumnya,
Setelah belasan gadis maupun wanita pernah mengisi rongga hidupku,
Aku tidak pernah semenaruh hati ini.
Aku selalu suka bagaimana namanya dieja,
Aku selalu suka bagaimana ia menghampiriku,
Aku selalu suka bagaimana ia menceritakan kisahnya,
Aku selalu suka bagaimana ia beraksi saat aku merekamnya,
Seakan aku bukanlah aku,
Aku tidak pernah sejatuh cinta ini sebelumnya.
Hari-hari letihku, malam-malam pikukku seakan runtuh,
Lalu seolah aku terbangun dari tidurku,
Aku menapak pada padang rumput bertabur bunga sakura,
Bagaimana langkahnya dengan lincah menghampiriku,
Aku tidak pernah sejatuh cinta ini sebelumnya.
Kemudian, waktu mulai merenggangkan kami...
Aku dicandu problema hidup dan ia dicandu pergolakan emosi.
Kemudian aku dicandu akan solusi yang membuatku mencari semesta damai yang membuatku melupakan bagaimana kami memulai semuanya seperti sebelumnya.
Kemudian ia dicandu akan emosi yang dinamis yang membuatnya mencari jati diri sehingga melupakan bagaimana kami memulai semuanya seperti sebelumnya.
Bukankah dulu aku tidak pernah sejatuh cinta itu sebelumnya?
Sesaat kami semakin canggung,
bahkan tidak ada lagi sekedar senyum,
Tawa hanya suguhan jarang-jarang,
Kami cenderung berselimut luapan emosi,
Kemana rasa jatuh cinta seperti sebelumnya?
Aku adalah pria tangguh yang hampir sulit menitikkan air mata,
Tidak pernah menjadikanku tidak punya rasa.
Namun kemana rasa yang tadinya hanya untukku?
Ia kini tersenyum untuk pria lain.
Berkali-kali kutegaskan, bukan aku.
Percayalah, hari-hariku diisi hujan tiba-tiba.
Kamu tidak pernah tahu.
Ia sekarang sudah berubah, aku tidak berhak marah.
Bagaimana mungkin ini adil?
Benarkah ini bagaimana hukum alam bekerja?
Mengapa aku masih merindukannya?
Mengapa di mataku ia adalah sosok yang sama?
Mengapa ia masih sosok yang aku cinta seperti pertama?
Kemana rasa jatuh cinta seperti sebelumnya?
Aku adalah pria teguh yang hampir tidak pernah menggoyahkan prinsip,
Tidak pernah menjadikanku mengabaikan sehelai rambutmu.
Namun kemana terima kasihmu atas perhatianku?
Ia kini berterima kasih untuk pria lain.
Berkali-kali kutegaskan, bukan aku.
Percayalah, hari-hariku bertabur percikan api.
Kamu tidak pernah paham.
Ia sekarang berubah, aku tidak berhak marah.
Bagaimana mungkin ini adil?
Benarkah perbalasan cintaku harus begini?
Mengapa aku masih mengharapnya di dalam hati?
Mengapa di mataku ia masih di sini?
Mengapa aku tidak berhenti memikirkannya sampai hari ini?
Kemana rasa jatuh cinta seperti sebelumnya?
Sampai pada dentang jarum jam yang tidak pernah kami ramalkan.
Ia bercerita, namun bukan untukku.
Kisah kali ini adalah tentang dianya ia,
Bagaimana ia mencoba menyampaikan tanpa menyakitiku,
Walaupun rusukku seperti remuk,
Seolah-olah tidak cukup satu panah saja menikam jantungku.
Sesungguhnya sulit bagiku, menerima berbagai aksara yang terucap,
Tiap-tiap desah suaranya sudah cukup menyakitkan,
Harusnya ia tahu bahagia yang kuharapkan padanya,
Tetapi ia memilih bahagia yang lain,
Kali ini aku yang tidak paham.
Dentang jarum jam saat itu adalah permulaan dentang-dentang lainnya.
Kami tenggelam dalam pergolakan emosi masing-masing.
Kukira ia memahami rasa cintaku,
Ia kira aku akan mengadili yang ia rasakan,
Tetapi ia terlihat lebih hancur,
Di saat aku mati-matian menahan rasa remuk di dada.
Aku masih mencintainya seperti sebelumnya.
Sampai pada ujung keputusan,
Adalah aku yang mengikhlaskannya.
Sampai pada tumpuan terberat yang kupijak,
Adalah aku yang membiarkannya,
Berjalan untuk dia, pria lain yang mencintai ia.
Aku masih mencintainya seperti sebelumnya.
Aku berdiri di titik sendiri.
Titik ini memberiku suatu penglihatan masa lalu,
Masa pertama wajahnya hanya diberikan bagiku.
Titik ini memberiku suatu penglihatan masa lalu,
Masa saat waktu merenggangkanku dengan ia.
Titik ini memberiku suatu penglihatan masa lalu,
Masa saat aku tidak menyadari ia telah berubah,
Masa saat dia memilih pria lain dan bukan aku.
Tidak apa, aku mencoba mengikhlaskan.
Aku yakin ia akan bahagia,
Dia akan suka bagaimana namanya dieja,
Dia akan suka bagaimana ia menghampirinya,
Dia akan suka bagaimana ia menceritakan kisahnya,
Dia akan suka bagaimana ia beraksi saat dia merekamnya,
Seakan dia bukanlah dia,
Dia tidak akan pernah sejatuh cinta ini sebelumnya.
Dia akan bahagia, sama sepertiku yang bahagia karena kehadirannya.
Ia akan bahagia, walau bahagiaku terenggut.
Untuk dia,
Bahagiakan ia seperti aku mencintainya.
Bahkan sampai detik ini.
Aku pernah berjanji padanya,
Bila sewaktu-waktu kau menyakitinya,
Aku yang akan melindunginya.
Tetapi saat ia memilihmu,
Korbankan dirimu sama sepertiku mengorbankan hidupku untuknya.
Ahh... kau sih tak akan pernah tahu rasanya jadiku...
Setelah belasan gadis maupun wanita pernah mengisi rongga hidupku,
Aku tidak pernah semenaruh hati ini.
Aku selalu suka bagaimana namanya dieja,
Aku selalu suka bagaimana ia menghampiriku,
Aku selalu suka bagaimana ia menceritakan kisahnya,
Aku selalu suka bagaimana ia beraksi saat aku merekamnya,
Seakan aku bukanlah aku,
Aku tidak pernah sejatuh cinta ini sebelumnya.
Hari-hari letihku, malam-malam pikukku seakan runtuh,
Lalu seolah aku terbangun dari tidurku,
Aku menapak pada padang rumput bertabur bunga sakura,
Bagaimana langkahnya dengan lincah menghampiriku,
Aku tidak pernah sejatuh cinta ini sebelumnya.
Kemudian, waktu mulai merenggangkan kami...
Aku dicandu problema hidup dan ia dicandu pergolakan emosi.
Kemudian aku dicandu akan solusi yang membuatku mencari semesta damai yang membuatku melupakan bagaimana kami memulai semuanya seperti sebelumnya.
Kemudian ia dicandu akan emosi yang dinamis yang membuatnya mencari jati diri sehingga melupakan bagaimana kami memulai semuanya seperti sebelumnya.
Bukankah dulu aku tidak pernah sejatuh cinta itu sebelumnya?
Sesaat kami semakin canggung,
bahkan tidak ada lagi sekedar senyum,
Tawa hanya suguhan jarang-jarang,
Kami cenderung berselimut luapan emosi,
Kemana rasa jatuh cinta seperti sebelumnya?
Aku adalah pria tangguh yang hampir sulit menitikkan air mata,
Tidak pernah menjadikanku tidak punya rasa.
Namun kemana rasa yang tadinya hanya untukku?
Ia kini tersenyum untuk pria lain.
Berkali-kali kutegaskan, bukan aku.
Percayalah, hari-hariku diisi hujan tiba-tiba.
Kamu tidak pernah tahu.
Ia sekarang sudah berubah, aku tidak berhak marah.
Bagaimana mungkin ini adil?
Benarkah ini bagaimana hukum alam bekerja?
Mengapa aku masih merindukannya?
Mengapa di mataku ia adalah sosok yang sama?
Mengapa ia masih sosok yang aku cinta seperti pertama?
Kemana rasa jatuh cinta seperti sebelumnya?
Aku adalah pria teguh yang hampir tidak pernah menggoyahkan prinsip,
Tidak pernah menjadikanku mengabaikan sehelai rambutmu.
Namun kemana terima kasihmu atas perhatianku?
Ia kini berterima kasih untuk pria lain.
Berkali-kali kutegaskan, bukan aku.
Percayalah, hari-hariku bertabur percikan api.
Kamu tidak pernah paham.
Ia sekarang berubah, aku tidak berhak marah.
Bagaimana mungkin ini adil?
Benarkah perbalasan cintaku harus begini?
Mengapa aku masih mengharapnya di dalam hati?
Mengapa di mataku ia masih di sini?
Mengapa aku tidak berhenti memikirkannya sampai hari ini?
Kemana rasa jatuh cinta seperti sebelumnya?
Sampai pada dentang jarum jam yang tidak pernah kami ramalkan.
Ia bercerita, namun bukan untukku.
Kisah kali ini adalah tentang dianya ia,
Bagaimana ia mencoba menyampaikan tanpa menyakitiku,
Walaupun rusukku seperti remuk,
Seolah-olah tidak cukup satu panah saja menikam jantungku.
Sesungguhnya sulit bagiku, menerima berbagai aksara yang terucap,
Tiap-tiap desah suaranya sudah cukup menyakitkan,
Harusnya ia tahu bahagia yang kuharapkan padanya,
Tetapi ia memilih bahagia yang lain,
Kali ini aku yang tidak paham.
Dentang jarum jam saat itu adalah permulaan dentang-dentang lainnya.
Kami tenggelam dalam pergolakan emosi masing-masing.
Kukira ia memahami rasa cintaku,
Ia kira aku akan mengadili yang ia rasakan,
Tetapi ia terlihat lebih hancur,
Di saat aku mati-matian menahan rasa remuk di dada.
Aku masih mencintainya seperti sebelumnya.
Sampai pada ujung keputusan,
Adalah aku yang mengikhlaskannya.
Sampai pada tumpuan terberat yang kupijak,
Adalah aku yang membiarkannya,
Berjalan untuk dia, pria lain yang mencintai ia.
Aku masih mencintainya seperti sebelumnya.
Aku berdiri di titik sendiri.
Titik ini memberiku suatu penglihatan masa lalu,
Masa pertama wajahnya hanya diberikan bagiku.
Titik ini memberiku suatu penglihatan masa lalu,
Masa saat waktu merenggangkanku dengan ia.
Titik ini memberiku suatu penglihatan masa lalu,
Masa saat aku tidak menyadari ia telah berubah,
Masa saat dia memilih pria lain dan bukan aku.
Tidak apa, aku mencoba mengikhlaskan.
Aku yakin ia akan bahagia,
Dia akan suka bagaimana namanya dieja,
Dia akan suka bagaimana ia menghampirinya,
Dia akan suka bagaimana ia menceritakan kisahnya,
Dia akan suka bagaimana ia beraksi saat dia merekamnya,
Seakan dia bukanlah dia,
Dia tidak akan pernah sejatuh cinta ini sebelumnya.
Dia akan bahagia, sama sepertiku yang bahagia karena kehadirannya.
Ia akan bahagia, walau bahagiaku terenggut.
Untuk dia,
Bahagiakan ia seperti aku mencintainya.
Bahkan sampai detik ini.
Aku pernah berjanji padanya,
Bila sewaktu-waktu kau menyakitinya,
Aku yang akan melindunginya.
Tetapi saat ia memilihmu,
Korbankan dirimu sama sepertiku mengorbankan hidupku untuknya.
Ahh... kau sih tak akan pernah tahu rasanya jadiku...
Ilustrasi rasa cinta dari Ayah


No comments:
Post a Comment