Saturday, October 5, 2019

Kebaya Merah Muda dan Wedang Jahe



Langit mulai menjadi jingga. Sama seperti pantulan air yang masih memantulkan lagi warnanya ke bola mataku. Ya, mataku yang masih nanar atas segala rasa penyesalan yang menyeruak di dada. Di meja, masih ada secangkir wedang jahe yang belum aku sentuh sedari pagi. Wedang jahe itu seharusnya menjadi salah satu minuman kesukaanku. Sayangnya, kali ini wedang jahenya terasa begitu hambar. Bukan tentang komposisi yang kurang pas, akan tetapi tentang hilangnya “sesuatu” yang menjadikannya khas. 
Aku memang keliwat menyesal mengingat beberapa minggu yang lalu tetap kekeuh untuk tidak mengenakan kebaya kutubaru buatan nenek. Kebaya yang modelnya biasa saja dan tidak ada payet yang menjadikannya lebih elegan. Hanya kebaya sederhana yang nyaman dipakai dan tidak mencuri perhatian siapa pun yang melihatnya. Tetapi setidaknya kebaya itu dijahit dengan ketulusan dan pengharapan yang besar akan kesuksesan yang nantinya akan aku rengkuh di kemudian hari. 
Tidak dapat berhenti air mataku turun sejak pagi, membasahi kebaya yang sudah susah payah dijahit nenek. Bahkan aku tidak rela membawa kebaya itu pulang agar bau kapur barus yang begitu meresap dalam kain batiknya tetap terjaga kerap kali aku merindukan nenek. Nenek telah berpulang setelah lama menungguku yang sengaja mengundurkan kepulanganku ke Jogja karena aku tidak ingin kelewatan acara perpisahan bersama teman-teman kantorku. Seharusnya aku sadar bahwa saat itu justru aku yang kelewatan acara perpisahan dengan nenek.
Bulan depan aku akan menikah. Aku tidak pernah menyangka di hari pernikahanku justru nenek yang tidak bisa hadir. Aku terlalu angkuh sampai tidak menyadari bahwa nenek bisa meninggalkanku sewaktu-waktu. Aku terlalu angkuh sampai tidak pernah menyadari betapa selera nenek yang kataku ndeso itu, bisa membuatku rindu yang teramat dalam. Lagi-lagi air mataku terlalu penuh membasahi pelupuk dan kembali terjatuh, melembabkan kebaya kutubaru berwarna merah muda. Aku teringat kata-kata nenek, “Mung wong ayu sing apik nganggo kebaya jambon.” (Hanya orang cantik yang bagus pakai kebaya merah muda)
Calon suamiku menepuk bahuku, membuyarkan segala kenangan sedih yang masih saja berkutat di otakku. Tangannya mengambil cangkir wedang jahe yang sudah dingin, menggantinya dengan teh manis hangat. Dia tidak berkata apa-apa, hanya menggoyangkan sedikit dagunya maju, gestur yang memerintahku meneguk teh itu. Aku mengabaikannya. “Harusnya waktu itu aku pakai kebayanya nenek dan engga perlu ikut acara penutupan perpisahan di kantor. Aku nyesel, mas.”
Mas Angga, calon suamiku, lagi-lagi belum bersuara. Ia hanya menghela nafas yang berat. Cukup lama memberiku jeda waktu untukku tersengguk dalam tangisan lalu ia meraih kebaya yang aku pangku. “Bagus yah kebayanya, sederhana.” Kata Mas Angga singkat. Kata-kata itu justru membuatku semakin menangis dalam sesal. Mas Angga menepuk sambil membelai pundakku lembut. “Masih bisa diperbaiki, dek. Kebaya pengantinmu itu, kita simpan saja. Kita masih bisa pakai di pesta-pesta besar lainnya. Mas engga keberatan kamu pakai kebaya ini saat resepsi nanti. Pernikahan kita ‘kan momen seumur hidup, kita abadikan jerih payah nenek dengan kamu pakai kebaya ini.”
Aku kembali menangis sejadi-jadinya, bukan karena rasa sesal lagi tetapi kelegaan atas pengharapanku yang masih bisa memuaskan keinginan nenek yang telah di surga. Aku memeluk Mas Angga, bersyukur sekalian minuman nanti saat resepsi, kita minta keluarga besar buatkan wedang mendapatkannya sebagai calon suami yang penyabar dan dewasa. “Nganu, mas.. hati aku menghaturkan maaf yang tertulus atas sikapku selama beliau masih ada. jahe saja ya, mas?” Mas Angga mengusap kepalaku lembut lalu mengangguk. Dalam terus membanggakan nenek. Akhirnya, aku seruput teh manis yang tadi dibawakan. Di lain sisi, hadirnya Mas Angga membuatku berani membangun pengharapan untuk Mas Angga untukku. Aku tersenyum, rasa teh ini pun seperti buatan nenek, seolah-olah nenek memaafkanku di tempat sana.

Short Story by Sophisticated Beast


credit by Instagram/zwitasari

Wednesday, October 10, 2018

Yang Tidak Berbalas

Gambar terkait


Hening. 
Hening. 
Tak bergerak.



Lalu tiba-tiba layar handphoneku menyala. Pesan darinya. Tidak ingin membiarkannya berlama-lama. Aku segera membaca pesannya dengan senyum yang tak aku sadari mulai menyungging ke atas. "Sebentar lagi aku sampai. Tunggu ya." katanya di pesan itu. Aku menjadi berdebar.



Aku menunggunya seperti biasa di latar depan kampus yang menjadi tempatku nongkrong bersama teman-teman. Di situ pula tempat yang mengingatkanku tentang bagaimana posisi hebatmu di dalam kampus tidak menjadikanmu selamanya dikelilingi teman. Tempat yang juga menjadi kenyamananku dalam kesendirian. 


Tidak lama, dia muncul dan berhenti di depan pagar mengendarai motornya seperti biasa. "Lagi-lagi kaos hitam berkerah itu!" batinku dalam hati sambil buru-buru menyusulnya karena sudah tidak sabar menunggu lebih lama lagi. 

Sebenarnya kami tidak banyak berbicara di motor. Aku tidak pendiam, dia juga tidak. Entah mengapa kami hanya memutuskan untuk diam merasakan terpaan angin yang memeluk tubuh kami saat motor ini melaju kencang. Bukan pengendara motor yang handal tetapi senyaman itu aku duduk di belakangnya. Bukan tidak ada hasrat juga untuk memeluknya, aku hanya tidak ingin dia menjadi tidak nyaman dengan kebodohan kecil yang akan aku lakukan. Aku memilih untuk menekan keinginan itu.

Seperti biasa, perjalanan kali ini adalah tentang perkaranya. Seperti biasa juga, aku yang sering dimintanya untuk menemani perkaranya. Tidak tahu apa alasannya, yang jelas aku suka. Aku sangat menghargai hubungan ini, hubungan yang aku jaga baik dan aku tahu suatu saat belum tentu aku dapatkan lagi hubungan yang seperti ini. Oleh karenanya, sekali pun dia sering memintaku menemaninya, aku tidak pernah memintanya menemaniku juga. Sekali lagi aku takut dia tidak nyaman.

Kami sampai di suatu department store. Sejujurnya, aku bukan ahlinya memilih sesuatu. Seleraku cenderung payah. Tetapi aku iyakan lantaran keinginanku untuk bisa selalu ada untuknya. Tak rela juga dia memilih orang lain yang dia percayakan. Secemburu itu karena dia belum aku miliki.

Jadi begini, kami kenal belum lama ini. Pertemuan kami tidak baik dan sejujurnya, dia tipe pria yang aku benci. Tetapi kami terpaksa beradu dalam suatu lingkup yang sama. Terlalu benci untuk membiarkan segala kesalahpahaman, maka aku mencoba untuk membuka diri kepadanya dan menjelaskan segalanya dalam sudut pandangku. Tidak dinyana bahwa dia pun memilih membuka dirinya. Kira-kira itulah awal yang membuatku mulai menjatuhkan hati padanya. 

Sampai dengan detik ini, dia sangatlah baik dan perhatian. Melibatkanku dalam segala halnya membuatku semakin jatuh lagi dalam segala dunianya. Hampir tiada hari tanpa pesannya membuatku semakin menuntut keadaan yang dia tidak pernah tahu betapa setengah mati aku menahannya habis-habisan. Lama-lama aku mulai menyalahkannya dalam hati lantaran aku merasa seolah-olah hanya aku yang dibuatnya gila dan dia biasa saja.

Kami selesai memilih barang, perkaranya sudah beres. Berkat aku, katanya. Aku hanya bisa tersenyum lega masih bisa membantunya walau hanya itu. Seperti biasa pula dia tidak langsung mengajak pulang. "Apakah dia masih ingin berlama-lama denganku?" tanyaku dalam hati. Aku mulai membuat asumsi yang lain. Benci juga menjadi wanita yang seolah-oleh begitu gede rasa lantaran tidak pernah tahu kejelasan darinya. 

Dia selalu yang menentukan tempat selanjutnya karena dengannya aku selalu memilih untuk menjawab terserah. Percakapan kami saat makan pun seringkali tentangnya walau terkadang aku imbuhkan tentangku. Tetapi sejujurnya, tidak sepenuhnya tentangku karena tentangku yang aku ceritakan tidak benar-benar tentangku. Aku menciptakan tentangku yang baru agar dapat menyeimbangkannya. 

Seumur hidupku, pria ini membawaku ke dunia yang sangat berbeda. Dunia yang tampak begitu mengerikan tetapi  juga menenangkan segera setelah kata-kata penyemangatnya terucapkan. Aku akui, aku mencoba menjadi pribadi yang berbeda. Aku tidak masalah, bukankah berbeda dalam hal baik adalah wajar?

Masih tentangnya dan dunianya, kami selesai makan dan dia berdiri untuk membayar semua makanan kami. Aku tidak memaksa untuk ikutan membayar, aku tahu dia tidak akan menerima dan aku benci melakukan basa-basi yang sudah jelas akhirnya. Sudah aku rancang untuk membalasnya dalam wujud yang lain entah dengan membawa makanan di pertemuan selanjutnya atau hal lain yang dia tidak tahu bahwa aku berniat membalas budinya.

Kejadian seperti ini tidak hanya sekali dua kali. Berkali-kali dia memilihku untuk menemani hari-harinya. Dia pula yang selalu menjadi kawan bertukar cerita, resah dan bahagia. Bahkan pernah sekali dia merengkuh raga ini yang katanya menjadi angannya karena selama ini aku yang jadi geloranya berkarya. Melelehlah hati ini dalam rengkuhnya. Aku paham benar ini seharusnya adalah hal yang biasa. Kesalahanku adalah aku sudah jatuh terlalu dalam dan aku menuntut balasan mesra darinya yang tidak seharusnya aku harapkan. Dia biasa saja. Itu yang selalu berdengung.

Semakin lama, kawanannya pun merasa. Begitu pun kawananku tak jarang bertanya. Sebagaimana aku mencoba diam, mereka pun juga geram. Seolah-olah menuntut kenyataan, mereka mulai mempertanyakan kejelasan. "Tidak ada apa-apa." Berkali-kali kami menjelaskan, tidak cukup pula bagi mereka untuk percaya. 

Hari ke hari, kami semakin dekat pun semakin jauh. Aku mencoba menjauh, dia masih mendekat. Terjebak dalam perasaan tak berbalas membuatku sungguh gila. Akhirnya aku tumpahkan perasaan yang aku pendam terhadap mereka yang aku sayang. Mereka sudah menduga, pun tak bisa apa-apa. Ada yang membatasi saat aku menginginkan kejelasan. Jawaban atau kesudahan. Aku takut pada kesudahan ini. Hubungan ini begitu terasa sempurna, tidak sanggup rasanya memohon jawaban lalu kemudian tidak lagi kami saling bertegur sapa. Aku terlalu mencintai hubungan ini. 

Sampai suatu saat, dia mulai bercerita tentang asmaranya sekilas. Jatuhlah tangisan dalam hati. Masih dengan wajah penuh perhatian, aku dengarkan kisahnya yang membuatnya tersipu. Siapa pula yang mampu menandingi seleranya? batinku. Semakin dalam dia bercerita, semakin jatuh asaku untuk berharap bersamanya. Dia sudah milik orang lain.

Dunia terasa begitu gelap, dingin dan kejam. Hatiku yang remuk masih dituntut untuk memanggul tanggung jawab. Aku masih harus menahan rasa sakit saat aku mencoba mengobati rasa sakit pada hati orang lain yang tidak seberapa sakit dengan hatiku. Masih pula menjadi penopang saat tubuh ini sudah tidak kuat rasanya untuk berdiri. Ah, lagi-lagi aku mengemis belas kasih. Akibat dari perasaan bodoh yang aku ciptakan sendiri.

Mengukir lembar baru selalu sulit, namun kesulitan itu membuatku lupa bahwa aku pernah menaruh rasa. Sampai kemudian, rasa cintaku mulai berbeda. Aku mulai melupakannya. Rasa sakit itu pelan-pelan tergantikan. Seperti retak pada tembok kuno, justru retakan itu menambah cita dari estetikanya. Sakit yang tetap ada, namun tidak menjadikan aku terpuruk lagi. Aku belajar menerima bahwa rasa cinta yang pernah ada, belum tentu ditakdirkan untuk kita perjuangkan. Akan ada manusia yang hadir, tetapi kemudian pergi untuk kita belajar mengikhlaskan. Ada pula yang sengaja memberi luka, agar kita tahu makna untuk tidak melukai. Ada pula yang sengaja hadir, menjadikan kita seolah menjadi bodoh sendirian agar kita paham betapa bodohnya diri kita. 

Sebodoh itu aku pernah menghabiskan waktu dalam hening dan diam, menyadari semuanya adalah lampau. Makna dari sebagian lampau yang berkesan.




Minggu, 8 Agustus 2018

Hening.
Hening.
Tak bergerak.

Lalu tiba-tiba layar handphoneku menyala. Pesan dari grup obrolan. Ah, bukan ini yang aku tunggu. Aku tersenyum mengingat beberapa waktu yang lalu aku begitu menantikan pesan dari orang yang aku kira akan menjadi senjaku. Tidak sempat pula perasaan itu aku sampaikan padanya. Maaf, aku memang tidak ingin menyampaikannya. Biarlah menjadi kisahku sendiri yang begitu manis. Kami tetap berhubungan baik walau tidak terjalin dalam satu cinta. 

Tidak lama kemudian, seorang pemuda berpenampilan biasa yang bahkan cenderung tidak terlalu menarik menghampiri mejaku. Kami memang sepakat menghabiskan malam kami di sini. Pemuda biasa yang membuatku penasaran walau tidak bertingkah macam-macam. Dia baru saja selesai bekerja, pula diriku. Tidak lama kami mulai bertukar suara saling beradu seru dengan hari-hari yang sudah terlalui. Lalu handphoneku berdering. Dari dia yang dahulu aku kira akan jadi senja.

"Hai, apa kabar?" 

Aku tersenyum dengan perasaan rindu. Aku pandang pemuda di depanku yang masih serius bercerita. Aku sudah tidak membutuhkan dia sekarang. Biarkan sekarang aku menapak ke sebuah album yang baru. Aku tersenyum lebih lebar sambil mematikan handphone.


Album baru kali ini aku beri judul "Yang Kelak akan Membalas Rasa".


Short Story by Sophisticated Beast















credit by Google Image

Monday, April 30, 2018

Sang Pria






Sepasti mentari terbit di ufuk timur
Kemudian melepas lelah di sisi barat
Senyummu selalu menghiasi tidur
Ya, aku yang katamu malaikat

Mungkin sekali dua kali aku bertatap muka dengan guntur
Tidak menjadikanku ingat barangkali terlalu menyakitkan

Tetapi saat itu rasanya aku paling dicinta
Mereka ada tetapi kamu bersamaku
Saat itu, aku masih tidak menahu perihal gincu
Saat itu, aku masih tidak menjaga malu
Saat itu, aku masih mengaksara tak menentu
Saat itu, adalah dulu

Barangkali cinta itu buta, kamu bahkan tidak punya mata
Aksara yang terucap berubah menjadi tawamu
Salah yang berulang menjadi senyum hangatmu
Aku bahkan sengaja membodohi diri
Kamu masih semakin mencinta

Lalu sekarang, apa yang terjadi antara kita?
Kamu menahan rasa, aku tidak dapat tertawa

Saat itu aku beranjak belia dan sesaat dengan halmu kamu mendua
Kita tidak lagi bertukar tawa
Kamu tidak lagi mendokumentasikan lincahku
Aku tidak lagi merindukan bau kemejamu
Kita kira kita masih paham cinta

Tidak... Kita salah besar

Kamu melupakan rindu, aku terbiasa sendiri
Kamu menjinjing sibukmu, aku menanggung bebanku
Kamu dengan kewajibanmu, aku dengan hakku

Kita pernah punya mimpi saat kamu bercerita anganmu
Aku pernah belajar menerima saat kamu mendengar kataku
Kita pernah saling membunuh waktu di tiap malam
Kita pernah saling mengecup saat bulan temaram

Aku dan kamu tidak pernah bisa kembali

Ingin rasanya aku tetap dengan yang dulu
Tetapi saat ini, aku sudah bergincu
Tetapi saat ini, aku sudah menjaga maluku
Tetapi saat ini, aksaraku mampu memandu
Tetapi saat ini, adalah aku yang sekarang

Lalu aku memasuki duniaku sesungguhnya
Duniaku yang seperti bianglala
Terasa berdebar untuk menikmatinya 
Namun kemudian waktuku habis dan aku harus turun
Aku tenggelam dalam luka dan marah dalam sakit
Kata mereka kamu tahu, tetapi kulihat kamu diam saja

Hati kecil berharap kamu di sampingku
Logika mengatakan kamu takkan pernah sepenuhnya menemani
Kemudian, aku dengan sakitku sendiri
Aku tak lagi mengaduh padamu 
Aku ingin, tetapi rasa takut menahanku

Kemudian kali kedua aku memasuki dunia yang lain
Dunia yang memberiku harapan
Dunia yang seperti roller coaster
Aku ini manusia pecundang
Hanya keberanianku sendiri saja tak membuatku melangkah
Tetapi aku terbiasa sendiri lalu aku dengan keputusanku
Kami mencoba mengabaikan keburukan
Kami mencoba melawan keraguan
Namun cibiran dengan mudah menyayat dadaku 
Seperti rasanya telingaku berdarah
Seketika mereka menghakimi lalu aku mencari-cari pelindungku

Itulah awal mula jawaban atas kerenggangan kita
Kamu mulai mengenali aku yang baru
Aku mencari cara menghadapi kamu yang berubah
Kita sama-sama menangis
Kamu dalam hatimu
Aku dalam malamku

Aku benci mengenali dirimu yang baru
Pun tak ingin melupakanmu
Kamu benci menghadapi aku yang berubah
Pun tak ingin aku sama
Kita saling berkata
Tak satu dari kita membuka telinga
Kamu berselimut amarah
Aku berbalut air mata

Berkali-kali merutuki jarak yang tak selaras dengan hati
Bagaimana bisa kami dekat tetapi terasa jauh?

Sampai pada malam kamu menulikan telinga
Menelan teori dan egomu
Menelan kebenaran yang selalu kamu pegang teguh
Dan aku berbicara dalam tangisku
Menahan sabar atas mampuku
Menahan luka atas ketidakpercayaanmu 

Saat itu aku menyadari bahwa kita masih mencinta
Tetapi kita sudah lupa mencinta
Sialnya, kita tidak dapat mengulangnya
Bagaimana pun kita mencoba

Kamu mengusirku dalam kekecewaan mendalam
Kamu tidak mau melepasku pada bejat, katamu
Kamu mencintaiku sampai-sampai kamu membenciku

Aku berlari dalam luka yang mendalam
Aku menyerah pada asaku memberimu faham
Aku mencintaimu sampai-sampai aku membencimu

Kita saling membenci tapi tak ingin saling meninggalkan
Tetapi lelaki lain menantikan jawaban
Kamu mereda, tapi matamu menahan murka serta luka
Aku bertahan, tapi aku terlanjur terluka
Kamu bilang kamu mencoba ikhlas
Pun tak membuatku lega
Aku tahu cintamu tidak pernah padam
Tetapi tanpa pilihan aku hanya mengiya

Kita mengukir cerita baru, gaya baru serta lagak baru
Kamu benar-benar mencoba ikhlas
Sayangnya aku masih terluka
Aku takut sewaktu-waktu membangunkan amarahmu tanpa aku tahu
Mengingat parasmu yang memerah masih jadi mimpi burukku

Kamu gigih meyakinkanku pada ikhlas
Aku gigih memberimu fahamku
Kita tak lagi memberi tawa
Namun tatapan penuh makna
Iya, aku masih melihat cinta di sana

Sampai pada tangis malamku 
Sesaat setelah siang itu kamu menepuk bahunya berhias tawa
Tangis itu tangis bahagia
Tangis atas rasa yang tak pernah kuduga
Tangis atas harap yang kusebut dalam doa
Tangis yang mengawali segala itikadku dalam memahamimu
Tangis yang meyakinkanku atas kasih sayangmu yang tulus

Kelak aku tahu kamu akan kehilangan 
Itulah mengapa kamu selalu merindukanku
Ku mohon jangan menahan tangis 
Ku mohon jangan memaksa senyummu
Ku mohon jangan membawa luka

Aku selalu cinta kamu, sekarang dan sampai mati


"Everyone could be my prince, but you always be my king."


Sepucuk surat cinta dari gadis
Teruntuk ayahnya yang selalu dicinta


credit by Google Image

Sunday, March 25, 2018

Gadisku




Aku tidak pernah sejatuh cinta ini sebelumnya,
Setelah belasan gadis maupun wanita pernah mengisi rongga hidupku,
Aku tidak pernah semenaruh hati ini.

Aku selalu suka bagaimana namanya dieja,
Aku selalu suka bagaimana ia menghampiriku,
Aku selalu suka bagaimana ia menceritakan kisahnya,
Aku selalu suka bagaimana ia beraksi saat aku merekamnya,
Seakan aku bukanlah aku,
Aku tidak pernah sejatuh cinta ini sebelumnya.

Hari-hari letihku, malam-malam pikukku seakan runtuh,
Lalu seolah aku terbangun dari tidurku,
Aku menapak pada padang rumput bertabur bunga sakura,
Bagaimana langkahnya dengan lincah menghampiriku,
Aku tidak pernah sejatuh cinta ini sebelumnya.

Kemudian, waktu mulai merenggangkan kami...
Aku dicandu problema hidup dan ia dicandu pergolakan emosi.
Kemudian aku dicandu akan solusi yang membuatku mencari semesta damai yang membuatku melupakan bagaimana kami memulai semuanya seperti sebelumnya.
Kemudian ia dicandu akan emosi yang dinamis yang membuatnya mencari jati diri sehingga melupakan bagaimana kami memulai semuanya seperti sebelumnya.
Bukankah dulu aku tidak pernah sejatuh cinta itu sebelumnya?

Sesaat kami semakin canggung,
bahkan tidak ada lagi sekedar senyum,
Tawa hanya suguhan jarang-jarang,
Kami cenderung berselimut luapan emosi,
Kemana rasa jatuh cinta seperti sebelumnya?

Aku adalah pria tangguh yang hampir sulit menitikkan air mata,
Tidak pernah menjadikanku tidak punya rasa.
Namun kemana rasa yang tadinya hanya untukku?
Ia kini tersenyum untuk pria lain.
Berkali-kali kutegaskan, bukan aku.
Percayalah, hari-hariku diisi hujan tiba-tiba.
Kamu tidak pernah tahu.
Ia sekarang sudah berubah, aku tidak berhak marah.
Bagaimana mungkin ini adil?
Benarkah ini bagaimana hukum alam bekerja?
Mengapa aku masih merindukannya?
Mengapa di mataku ia adalah sosok yang sama?
Mengapa ia masih sosok yang aku cinta seperti pertama?
Kemana rasa jatuh cinta seperti sebelumnya?

Aku adalah pria teguh yang hampir tidak pernah menggoyahkan prinsip,
Tidak pernah menjadikanku mengabaikan sehelai rambutmu.
Namun kemana terima kasihmu atas perhatianku?
Ia kini berterima kasih untuk pria lain.
Berkali-kali kutegaskan, bukan aku.
Percayalah, hari-hariku bertabur percikan api.
Kamu tidak pernah paham.
Ia sekarang berubah, aku tidak berhak marah.
Bagaimana mungkin ini adil?
Benarkah perbalasan cintaku harus begini?
Mengapa aku masih mengharapnya di dalam hati?
Mengapa di mataku ia masih di sini?
Mengapa aku tidak berhenti memikirkannya sampai hari ini?
Kemana rasa jatuh cinta seperti sebelumnya?

Sampai pada dentang jarum jam yang tidak pernah kami ramalkan.
Ia bercerita, namun bukan untukku.
Kisah kali ini adalah tentang dianya ia,
Bagaimana ia mencoba menyampaikan tanpa menyakitiku,
Walaupun rusukku seperti remuk,
Seolah-olah tidak cukup satu panah saja menikam jantungku.
Sesungguhnya sulit bagiku, menerima berbagai aksara yang terucap,
Tiap-tiap desah suaranya sudah cukup menyakitkan,
Harusnya ia tahu bahagia yang kuharapkan padanya,
Tetapi ia memilih bahagia yang lain,
Kali ini aku yang tidak paham.

Dentang jarum jam saat itu adalah permulaan dentang-dentang lainnya.
Kami tenggelam dalam pergolakan emosi masing-masing.
Kukira ia memahami rasa cintaku, 
Ia kira aku akan mengadili yang ia rasakan,
Tetapi ia terlihat lebih hancur,
Di saat aku mati-matian menahan rasa remuk di dada.
Aku masih mencintainya seperti sebelumnya.

Sampai pada ujung keputusan,
Adalah aku yang mengikhlaskannya.
Sampai pada tumpuan terberat yang kupijak,
Adalah aku yang membiarkannya,
Berjalan untuk dia, pria lain yang mencintai ia.
Aku masih mencintainya seperti sebelumnya.

Aku berdiri di titik sendiri.
Titik ini memberiku suatu penglihatan masa lalu,
Masa pertama wajahnya hanya diberikan bagiku.
Titik ini memberiku suatu penglihatan masa lalu,
Masa saat waktu merenggangkanku dengan ia.
Titik ini memberiku suatu penglihatan masa lalu,
Masa saat aku tidak menyadari ia telah berubah,
Masa saat dia memilih pria lain dan bukan aku.
Tidak apa, aku mencoba mengikhlaskan.
Aku yakin ia akan bahagia, 
Dia akan suka bagaimana namanya dieja,
Dia akan suka bagaimana ia menghampirinya,
Dia akan suka bagaimana ia menceritakan kisahnya,
Dia akan suka bagaimana ia beraksi saat dia merekamnya,
Seakan dia bukanlah dia,
Dia tidak akan pernah sejatuh cinta ini sebelumnya.
Dia akan bahagia, sama sepertiku yang bahagia karena kehadirannya.
Ia akan bahagia, walau bahagiaku terenggut.

Untuk dia,
Bahagiakan ia seperti aku mencintainya.
Bahkan sampai detik ini. 
Aku pernah berjanji padanya, 
Bila sewaktu-waktu kau menyakitinya,
Aku yang akan melindunginya.
Tetapi saat ia memilihmu,
Korbankan dirimu sama sepertiku mengorbankan hidupku untuknya.
Ahh... kau sih tak akan pernah tahu rasanya jadiku...



Ilustrasi rasa cinta dari Ayah
Teruntuk gadisnya yang beranjak dewasa


credit by Google Image

Friday, December 1, 2017

Tentang Penjarah



Sembari mendengar walau sekilas, semuanya mengangguk iya tentang hal yang buruk terkait padanya. Tidak terkecuali aku.
Bahkan sekedar melamun saja, tidak dibenarkan bila itu adalah kebenaran. 
Hal baik selalu tentang memberi.

Entah, sifat dasar manusia itu, bagaimana kita merakit strateginya, tidak kau temukan cara memusnahkannya. Kau ini siapa? Bukan empu apa-apa.
Kendati barangkali aku mengharapkan sedikit saja pemahamanmu. Kata senjaku, dia pintar. Kataku, engkau pun turut. Apakah pergolakan emosi yang harus jadi komandannya? Sampai kamu menunduk dan bersujud di hadapannya layaknya serdadu tak punya harga diri?

Kalau-kalau kamu melihat ini, ijinkan aku melayangkan suatu pertanyaan? Apakah kamu manusia yang punya empati? Aku tidak mengemis tentang bagaimana caramu berempati. Secuil saja katamu kau punya, seharusnya kau paham. 

Juga untuk ke semuanya yang melihatku atau orang-orang yang pernah berdiri di tempat berpijak yang sama denganku.
Kami hanya tidak tahu. Aku pun turut. Aku tidak tahu. 
Bagaimana orang melihatku, aku tidak bisa mengambil kemudi untuk berkelana pada petualangan yang aku pilih. 

Permasalahanya, aku mengiyakan hal yang dapat kubantu. Barangkali aku juga mendapat balasan bila kelak terkurung dalam kesukaran. Hal ini menjadi suatu kebiasaan yang kuanggap budaya kebajikan. Siapa sangka orang melihat itu adalah kedengkian bahkan membuat mereka melakukan penuduhan. Yang dikasihi dianggap terjarah. Dan akulah pelakunya.

Sekarang semua sudah terjadi dan tetap ini realita yang diketahui orang. Barangkali benar suatu perumpamaan bahwa kebenaran adalah seperti kotoran dalam tanah. Tidak akan pernah ada yang tahu apabila tidak ada yang mencarinya. Tidak, untuk apa pula dicarinya? Mereka tidak ingin mendengarnya. Kebenaranku, adalah sia-sia. Mereka tidak mau tahu.

Yang dijarah meluapkan segalanya pada yang mereka kasihi dan seluruh dunia membuka telinga terhadap kisahnya. Lalu penjarah ini, terkurung dalam penjara. Kami juga punya cerita, tetapi untuk apa orang-orang mendengarnya? Manusia tidak mau mendengar yang jahat.

Kendati begitu, aku masih bisa tertawa di dalam penjara. Bukan, bukannya tidak merasa bersalah. Setidaknya kesalahanku tidak lebih besar dari yang menulikan telinga terhadap kebenaran. Setidaknya aku menghadapi kesalahanku dengan yang setimpal, bukan menguburnya dengan penuduhan yang lain yang ditumpahkan padaku.

Adalah kisahku bahwa seorang tua meminta bantuanku. Aku rasa dahagaku tidak terasa sehingga boleh saja mengeluarkan peluh untuk berbuat bajik. Seorang tua ini biasa saja dan tidak menuntut apa-apa padaku sehingga kurasa tidak ada yang perlu dicela. Semua orang dikenalkan padaku. Baik teman si tua, kerabat dan siapapun yang mengenal si tua. Bahkan petuah bajik sampai riwayat dirinya disampaikan padaku begitu menggebu. Aku menikmatinya. Kesalahanku adalah aku yang menaruh lebih suatu harapan tetapi aku bersumpah untuk tidak menyakitinya. Sampai suatu ketika seseorang menandaiku penculik. Seorang tua itu hilang dan aku yang dicela. 

Adalah kisahku bahwa seorang gadis kecil yang kelaparan. Menurut kisahnya, ia hidup bahagia. Aku meragu karena ada luka di sana sini tetapi wajahnya penuh ketulusan. Yakinlah aku bahwa lepaslah ia dari dusta. Aku menyambutnya, sama seperti aku menyambut bocah-bocah lainnya. Aku hanya melihat dia sedikit berbeda, tentang bagaimana ia meyakinkan ku bahwa ia akan menjadi lebih baik. Aku tidak melakukan apapun yang melebihi bocah-bocah lainnya. Aku hanya memberikan hal yang setimpal padanya lebih karena memang dia berlaku lebih daripada bocah lainnya. Seadil itu.
Lantas seorang mengatakan bahwa aku menjarahnya. Dia berpunya dan aku berlaku semena-mena. Dia tidak menoleh pada kisahku pun tak percaya pada kata-kata bocah itu. Kembali aku tertangkap.

Sedikit pun aku tidak merasa mengenakan harga diri. Eksistensiku terinjak. 
Apa boleh buat? Beginilah hidup seorang penjarah. Penjarah yang tidak menjarah.
Apa boleh berkata? Beginilah fakta seorang penjarah. Penjarah tanpa sejarah.

Barangkali kamu menolehkan kepalamu untuk menelan aksara-aksara di atas, ijinkan aku mengemis kasihmu untuk memahami kisah penjarah lainnya.
Aku terlanjur terpenjara dalam tuduhan-tuduhanmu. Biarlah aku berkenan karena rupa-rupa masa lalu barangkali pernah menorehkan hal yang sama atas perbuatan tanganku. Aku enggan berlaku munafik untuk menyatakan bahwa aku mengikhlaskan segala yang telah kau torehkan hingga berdarah bagaimana kisah awal mula akan terlewati. Aku masih berangkara walau mimpiku terus menunjukkan itikad yang bertolak belakang. Bukan tidak mungkin akal budiku masih bengis kendati hati nuraniku ikhlas. Setidaknya aku tidak berlaku kebalikan dengan perucapanmu yang tidak selaras dengan perbuatanmu.

Teruntuk kalian para pemijak bumi, kuharap kau menjadi pemijak yang paling bijak.
Dunia ini tidak pernah mudah pun sederhana. Saat kau lihat ada dua pilihan, kau tahu pilihan lain bersembunyi. Bukan permasalahan pilihan mana yang benar, tetapi bagaimana kamu menerima konsekuensinya. 

Kau tahu apa yang menarik dari kisah tentang penjarah?
Korbannya adalah penjarah yang sejati.


credit by Google Image

Thursday, August 17, 2017

Vermillion Hour



One day, I was bound by some situation which lead me to another perspective of life. About how pity I am or how unlucky I am or even how slack my spirit for some unnecessary reason. Then a small journey made me opened my brain for another lesson to learn.

Everyone has their own journey in pursuing what they wished to reach. Like somehow you might see people living so good or people walking easily like they didn't have any struggle hanging on their shoulder. Then you saw them and extremely envy having slight thought about how unfair this life could be. I did that a lot.
Then I did a small journey that made me thinking for some reason, you and me shouldn't be envy for nothing. Each people has their own harvest moon. One thing for sure, we need to remember that we should be a persistent learner of everything. It is okay to have proud of yourself because I believe you are all special on your on way. For silly me, I'm still learning in accepting this lesson.
In one time, never been wrong for us to let a few hours of us appreciate others or even appreciate ourselves. It was hard as how I still couldn't believe that one of my pretty fellas took this picture of mine which turns out soooo magical. Knowing I'm little kinda daddy's little girl who hates any rough adventures or activities which require much energy not to mention (eventhough the journey of this photo taken not even challenging for others but I extremely exhausted like I'm gonna die seriously LOL) but still I have a chance to feel amaze. I didn't even tried to pose (as you can see how weird my expression captured on that) but turns out the mountain hellos back to me and sun light beautify the moment.
You might say I'm too much but let me thankful through this writing. I'm not an expert talking about composition of the lighting or saturation on the photo so let the composition written by Himself. (suddenly religious LOL).  I admitted that there were a lot of great photos out there and a bunch of photographers nowadays could take a better even best photos beside this but I'm appreciate of what I got now even when it was just a little piece of thing because I believe small things had made me for who I am today.

As the finale, if one moment you feels like "Why am I living so miserable in such a desperate situation like this?" Please fight to get rid of that feeling.
"Every struggle is like mud, there are always some lotus seed waiting to sproud."
One day, if you feel like the earth hates you that much, don't worry. You still have the moon and the sun. They might open their arms to hug you. If they don't... I'll be your moon or your sun or whatever you wish me to be...


Wednesday, April 13, 2016

Semu



Semu...

Dia yang tak ingin kusebut
Barang setetes pun tak ku sambut

Rasanya seperti melihat hiburan layar kaca
Dengan bocoran yang sudah kau pirsa

Tidak memesona, pun membangkitkan selera


Semu...

Adalah dia yang mengundang lara
Karena sadarmu dulu adalah cinta

Enggan menanggalkan cita
Sayang rengkuhannya sertakan duka

Siapa yang kau cari?
Hanya kau yang tahu sendiri


Semu...

Ini tentang fluktuasi kondisi
Yang buritnya sudah dirasai

Galibnya tentang pedih
Bersandar pun ala tertatih

Tatkala tahu akhir ceria,
Insan mana terbahak?


Semu...

Serentak dengan rindu
Dan saat rindu menyeribu
Itulah semu


Semu...

Sudah terlampaui
Tapi tak ingin lagi kutemui



Semu kah kau?

Jangan.



Credit by Google Image

Monday, December 28, 2015

The Hourglass



I was once finding myself smiled when my daddy's keyboard touched by my really small fingers. 
That day, I got the perfect score at school. Computer class.
I was finding myself so damn cool, have the ability to write down my own story, me thought.
Then I was carelessly have the intention to be a writer, another careless dream beside wanna-be a kindergarten teacher.
The 8-years-old-me said, "One day I'll release my own book. My own story that I made with my own brain. A really cool story." 
That time, I didnt know that human could easily change any volition into a past.
Because yet, I dont make any. 
I'm too shy to believe I could. 
I'm too afraid to be claimed as a copy-paste-sister. 
My big sissy did it first. 

It was when the Hourglass started to gave me the limited time. 
"The bottom bulb is on the upside. And vice versa. My sand starting to flow."

I was once finding myself smiled when my daddy's bought me new teenlit novel and my big sissy lent me her new teenlit novel she bought herself.
That day, I got the new sensation of entering the new world when I read them.
I was finding the author of the book were so damn cool, have the ability to write down their own fiction story, me thought.
Then I was carelessly have the intention again to be a writer, another careless dream that started to reappear after the dream of wanna-be a kindergarten teacher was left out.
The 15-years-old-me said, "One day I'll release my own book. My own story that I made with my own brain. A really cool story."
That time, I didnt know that human could be a coward once they facing the insecurities.
Because yet, I dont make any.
I'm still too shy to believe I could.
I'm too afraid that my stories wouldnt be good enough for people to read.
My big sissy did it too good. 

It was when the Hourglass reminded me the limited time. 
"The upper bulb showing my sands keep flowing to the bottom bulb."

I was once finding myself smiled when my big sissy told me about her new blog, after times she told me the other blogs a couple months before.
That day, I got the feeling that blog is the best invention for a halucinatory girl like me.
I was finding my big sissy has her own satisfaction when she decided to have so many blogs which she divided them into her stories, her daily life, and her colaboration with her bestie.
Then I was carelessly have the intention again to be a writer, another careless dream that started to reappear again after all my dreams I buried six feet under scream because maturity makes you hard to believe you could reach the summit of your goals.
The sweet-17th-me said, "One day I'll release my own book. If I'm not, at least I have my own blog. I have a lot of cool thought to share anyway."
That time, I didnt know that human could easily befriend with sloth.
Because yet, I dont make any.
I'm still too shy to believe I could.
I'm too afraid that my stories even my shares would be worth enough for people to read.
Anyone did it too good.

It was when the Hourglass turned the other cheek of mine to look at the limited time.
"The sand inside quickly filling up the bottom bulb from the upper bulb."

I was once finding myself smiled when I started to remember all I've made.
That day, I remembered all the things I've made since I was 8 until now. My childish stories, my fiction stories, my blog with quirky name on the address, my framework of the plot novel I wish to finish.
I was finding all of them were deleted like trashes.
Then I was carelessly regret for all I did after looking for many excuses for myself the reason why I turned them into my past only. Untill now.
I tried to recall another efforts I've made. I remember that I've ever made a blog I wished to share a lot of thought. Now, with a small efforts I tried to rebuild my childhood careless dream.
This time, I learnt that human was the greatest creature God has made because after all the things had forgotten, I could barely remember my own path which lead me here. 
Because yet, I started to make one of any thought I could.
I'm still afraid that I wouldnt keep my progresses quite persistent but I think its worth enough for my journey to start.
Anyone could do it good.

I turn my face to the Hourglass. It shown my inevitability this entire time.
"The bottom bulb is fulfilled by my sand. My time is up."

No, my time starts right now.
I hit the bulb hardly till' the bottom glass cracks. 
I hit it again and now all the sand leak out. 
Limited time?
Who knows when I'll die?


credit by Google Image